Monday, September 17, 2007

Kisah Alifya

Kisah dari Seorang Teman...
"jangan menahan kasih sayang kepada setiap orang yg pantas mendapatkannya"

Di bawah ini adalah salah satu contoh tragis. Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai akhirnya Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinyasudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesiyang akan digelutinya.''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip seorang mantanpresiden Amerika.

Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-samaberprestasi, meski berbeda profesi. Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai stafdiplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambildari huruf pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang darisatu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu keciluntuk ditinggal-tinggal? ''Dengan sigap Rani menjawab, ''Oh, saya sudah mengantisipasi segalasesuatunya. Everything is OK!'' Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdasdan gampang mengerti. Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayangitu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uangyang banyak. ''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalunenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adikbuat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknyamewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuhceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter.''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut. Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ''Bunda, mandikanaku!'' kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu, kami ke dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency. ''Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Tuhan sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya. Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri. Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku.''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis. Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdirimematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudahtakdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan? ''Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi sebuah pilihan,''lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat.

Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja. Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif.

Senja pun makin tua. Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong. Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dankehilangan yang amat sangat. Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunianya danambisinya sendiri tidak mengabaikan orang2 di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu. Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.

Pelajaran yang sangat menyedihkan. Semoga yang membacanya bisa mengambil makna yang terkandung dalamkisah tsb.
Catch the chance, keep and manage it well

3 comments:

WURYANANO said...

Waduh...Mas Ade Hidayat ini kalau nulis bikin saya terharu banget...

Tapi hikmahnya gedhe banget, ngingatkan saya juga, agar tidak terlalu sibuk di bisnis. Keluarga khususnya anak-anak juga sangat perlu sentuhan kasih sayang.

Alhamdulillah, saya dengan keluarga saya selalu memperoleh bimbingan Allah SWT.

Trims,
Wuryanano

Unknown said...

Menyedihkan ya memang. Jadi saat kita menjadi TDA pun harus ingat bahwa tujuan di awal kita jadi TDA itu karena salah satunya ingin membeli waktu untuk keluarga. Sekarang bukan zamannya memiliki kebanggaan semu seperti orang tua Alifya.

Semoga saya bisa mengambil hikmah apa yang ditulis Mas Ade ini.

mamad said...

Kisah yang sungguh mengharukan namun sungguh dalam maknanya untuk dijadikan ibrah. Sungguh keluarga (anak, istri, orangtua dan saudara) adalah lebih utama nilainya dibanding harta (dunia). Semoga Allah selalu membimbing kita untuk mampu memberikan kasih sayang pada orang-orang yang kita sayangi dan yang menyayangi kita.

Terimakasih mas atas tulisannya.

Salam kenal.
Cak Mamad