Friday, March 20, 2009

“VALUE-CREATING COMMUNITY"

Minggu lalu saya ketemu mas Iim Rusyamsi, Rosihan, dan mbak Inez dari komunitas Tangan Di Atas (TDA). Lama ngobrol dengan mereka banyak pelajaran yang saya dapat. Cerita mereka mengenai bagaimana TDA “beroperasi” membuat saya takjub. Takjub, karena model komunitas yang saya bayangkan selama ini, yaitu apa yang saya sebut “VALUE-CREATING COMMUNITY” berlangsung dalam format sederhana di komunitas yang baru berusia 3 tahun ini.

Sebelumnya saya membayangkan value-creating community ini hanya ada pada kasus-kasus hebat seperti komunitas Linux, komunitas Mozila Firefox, komunitas programer amatir Nokia, komunitas InnoCentive, komunitas Wikipedia, atau komunitas Facebook. Tapi rupanya cikal bakal komunitas pencipta nilai ini sudah ada di negeri ini. Saya pun berharap komunitas seperti TDA ini bisa menjadi model terbentuknya komunitas-komunitas sejenis secara massal di negeri ini.

Bermula Dari Blog

Sebagai background ada baiknya jika saya ceritakan sedikit sejarah berdirinya komunitas ini. Komunitas ini didirikan oleh Badroni Yuzirman yang berawal dari sebuah blog yang ditulisnya. Dari blog yang cenderung “memprovokasi” pembacanya untuk menjadi pengusaha itu kemudian tercetus ide melakukan kopi darat dalam bentuk talkshow dengan menghadirkan Haji Ali, salah satu tokoh sukses yang sering diceritakan di blog tersebut.

Dari talkshow itulah diperkenalkan “Tangan Di Atas” sebagai nama komunitas ini, yang kemudian diperluas tafsirnya menjadi pengusaha atau pedagang. Para peserta kemudian ditantang untuk langsung take action memulai bisnis dengan membuka kios di ITC Mangga Dua. Untuk memperlancar komunikasi, koordinasi dan diskusi mengenai problem bisnis mereka, maka dibuatlah mailing list. Mailing list itu kemudian dibuka untuk umum dengan anggota mencapai ratusan orang.

Dalam rumusan visi-misinya, komunitas ini memiliki tujuan mulia mencetak pengusaha kaya yang gemar memberi kepada sesamanya. Bahkan di dalam misinya secara jelas ditargetkan komunitas ini berambisi mencetak 10.000 pengusaha miliarder sampai dengan tahun 2018. Untuk mewujudkannya, mereka menggunakan medium komunitas. Kenapa? Karena mereka meyakini bahwa dengan berbagi, saling mendukung, memecahkan persoalan bersama, dan bersinergi satu sama lain, persoalan seberat apapun akan mudah terpecahkan.

Jumlah anggota komunitas ini sampai saat ini sudah sekitar 5000 orang tersebar di berbagai kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Malang, Member komunitas ini secara umum dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, TDA (Tangan Di atas), yaitu member yang sudah full berbisnis dan dalam upaya meningkatkan bisnisnya ke jenjang lebih tinggi. Kedua, TDB (Tangan Di bawah), yaitu member yang masih bekerja sebagai karyawan dan sedang berupaya untuk pindah kuadran menjadi TDA. Ketiga, Ampibi, yaitu member yang masih dalam tahap peralihan dari TDB ke TDA dengan melakukan bisnis secara sambilan.

Untuk memfasilitasi para member-nya komunitas ini telah menjalankan beragam kegiatan produktif yang begitu padat. Kegiatannya mulai dari seminar, workshop, pameran, diskusi online, webinar, business coach, buka kios bersama, leverage game, CSR, kelompok-kelompok diskusi Mastermind, dan sebagainya. Semua kegiatan itu dijalankan untuk memasilitasi dan mengantarkan member menjadi TDA yang sukses.

Value-Creating Community

Balik ke topik semula. TDA saya sebut value-creating community karena sekelompok orang yang punya minat, keinginan, dan visi yang sama bergabung, berkomunikasi, berinteraksi, berkolaborasi, berdiskusi, saling belajar, saling bertukar informasi, saling memberi ide, dan saling memberi solusi atas persoalan yang mereka hadapi. Berbeda dengan komunitas-komunitas yang ada sebelumnya, komunitas ini memanfaatkan web 2.0 tools dan social media seperti blog, milis, Facebook, Multiply, Yahoogroups, YM, dan lain-lain untuk memasilitasi aktivitasnya. Saya kira MASS COLLABORATION dalam format yang sederhana terjadi di dalm komunitas ini.

Mereka membentuk komunitas untuk mengambil manfaat dari apa yang oleh James Surowiecki disebut ”WISDOM OF CROWD”. Mereka meyakini prinsip dasar bahwa ”WE are smarter than ME”: bahwa sesuatu yang dikerjakan secara bersama-sama pasti hasilnya jauh lebih bagus, lebih sempurna, lebih hebat, lebih solid, lebih cepat, lebih efisien, lebih produktif. It’s the power of crowd. Mereka melakukan apa yang disebut kolaborasi secara kolektif di antara member untuk menciptakan nilai. Istilah kerennya: ”mass collaboration for value creation”.

Menariknya, proses komunikasi dan kolaborasi itu berlangsung secara horisontal dan natural. Horisontal, karena di dalam komunitas itu tak ada sebuah otoritas formal yang mengontrol kerja dari komunitas ini. Kalaupun di situ ada mas Iim dan timnya, itu lebih bersifat memfasilitasi, bukan mengatur apalagi menginstruksikan dan mengontrol kerja dari komunitas ini.

Di sini tak ada kooptasi dari Kementrian Koperasi dan UKM; tidak ada instruksi dari Kementrian Pemuda dan Olah Raga; tak ada dana INPRES. Mereka juga tidak menjual proposal ke World Bank atau IMF. Mereka bukanlah komunitas malas yang menunggu datangnya subsidi dan bantuan dari pemerintah atau lembaga donor. Semua kebutuhan dana dicukupi sendiri secara mandiri, kalau perlu pakai saweran. Itu pula sebabnya UKM-UKM binaan pemerintah atau LSM selalu loyo, tak pernah bisa sesolid mereka. Kenapa? Karena mindset dan landasan berpikir komunitas yang dibangun Pemerintah dan LSM 180 derajat berbeda dengan komunitas ini.

Karena mereka memiliki ”mimpi besar” yang sama untuk menjadi great entrepreneur, mereka mampu menyatukan langkah dan menyingkirkan semua persoalan yang menghadang untuk mewujudkan mimpi tersebut. Mereka membentuk apa yang saya sebut ”network of trust” yang memungkinkan komunitas ini bekerja secara seamless, ”self-managed ”, self-coordinated”, ”self-governed” berdasarkan pola kerja bersama yang mereka sepakati. Itu sebabnya mas Iim menyebut komunitas ini: ”trust-based community”.

Jujur, selama berbulan-bulan menulis CROWD: ”Marketing Becomes Horizontal” saya mendambakan adanya sebuah komunitas penciptaan nilai yang mampu memberikan kontribusi besar bagi negeri ini. Sebuah komunitas yang mampu memberdayakan setiap potensi individu dan mengambil manfaat dari kekuatan collective wisdoms. Selama menulis buku waktu itu memang yang ada di benak saya adalah komunitas Linux, komunitas Mozila Firefox, komunitas YouTube, komunitas InnoCentive. Tapi rupanya, dalam format yang sederhana tapi down to earth, value-creating community itu sudah hadir di negeri ini.

oleh Yuswohadi, Direktur Eksekutif MIM (MarkPlus Institute of Marketing) dan penulis Buku "Crowd: Marketing Becomes Horizontal".

Monday, March 16, 2009

Mari Bekerja

Perhatikanlah, bagaimana saat ini banyak orang-orang mengeluh dengan keluhan yang “berparadoks”. Di satu sisi mereka mengeluh tentang kehidupan mereka yang kian sulit. Namun di sisi lain mereka tidak melakukan banyak hal untuk keluar dari kesulitan tersebut.

Perhatikanlah bagaimana sebagian anak bangsa ini hidup dalam kesulitan, namun masih dengan orang-orang yang sama, mereka terlalu banyak menghibur diri. Persentase waktu yang mereka habiskan untuk bekerja masih lebih sedikit dibandingkan waktu yang mereka gunakan untuk menghibur diri.

Itulah mengapa, stasiun-stasiun televisi menangguk untung berlipat. Karena mereka “menghidangkan” begitu banyak acara hiburan dan sedikit sekali acara yang membuat penontonnya “bekerja”.

Perhatikanlah betapa banyak orang yang membuang waktunya dalam kesia-siaan. Padahal sebuah mimpi, cita-cita, harapan, dan keinginan harus diperoleh dengan kerja keras. TIDAK ADA YANG GRATIS DALAM KEHIDUPAN INI. Dan mungkin begitulah slogan yang tepat untuk membangunkan bangsa yang tertidur lelap.

Anda malas, maka bersiaplah menderita akibat kemalasan anda. Anda bekerja keras, maka Insya Allah, Rahmat Allah SWT bersama anda selama anda ikhlas bekerja dan melakukannya sesuai ketentuan Allah SWT.
Bangsa ini harus bangkit dari kelemahannya. Harus! Dan harus mereka sendiri yang melakukannya. Oleh karena itu, mulailah mematikan televisi manakala yang ditampilkan adalah sinetron yang menggambarkan mimpi-mimpi semu. Mimpi-mimpi yang terlalu ideal tapi seperti sulit dijangkau. Tentang anak manusia yang cantik-cantik dan tampan-tampan, hidup sudah dalam keadaan kaya dan sukses secara materi tapi tidak terlihat unsur perjuangan dalam mendapatkannya. Dan “kerjaan” mereka cuma bicara “cinta” yang sebenarnya cuma “nafsu” sesaat.

Mari selamatkan bangsa ini dengan mulai membuatnya bekerja mewujudkan mimpi. Saat ini keadaan seperti tak mendukung. Lihatlah sepanjang jalan yang anda lewati, mana yang lebih banyak, orang yang duduk-duduk, bercengkerama, santai, diam tak melakukan kegiatan produktif, atau mereka yang sedang bekerja keras mewujudkan mimpi?

Kita harus menyadarkan semua orang bahwa mereka harus bekerja, berkeringat, menguras semua potensi yang ada pada otak dan jasad mereka. Berlelah-lelah dalam konsentrasi dan aktivitas fisik. Semua demi mimpi-mimpi kebahagiaan yang sedang kita bangun.

Jangan ada lagi penganggur-penganggur di bangsa ini. Sebab penganggur bukanlah orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Penganggur adalah mereka yang tidak bekerja. Perhatikanlah, betapa antara orang yang memiliki pekerjaan tetap dengan orang yang bekerja bisa sangat berbeda 180 derajat!.

Dan mari mulai dengan diri kita yang membaca tulisan ini. Evaluasilah diri kita. Mana di antara 24 jam ini yang kita habiskan dalam kesia-siaan. Mana waktu-waktu yang produktif. Setelah itu perbaikilah! Dan jadilah lebih produktif!

Pada bagian akhir, jadilah kita bagian dari solusi atas permasalahan bangsa ini. Dan bukannya justru menjadi masalah bangsa ini.
Jadilah kita problem solver bagi bangsa ini. Dan bukannya sekedar menjadi problem speaker yang pada akhirnya hanya menjadi trouble maker bagi bangsa ini.

Jadi, selesai membaca tulisan ini. Mulailah mengerjakan pekerjaan produktif yang bisa kita lakukan. Dan jangan berhenti sebelum lelah, ada hal lain yang lebih penting atau saat Allah SWT menjemput kita dalam kematian yang diridhai-Nya. Amiiin.


http://hendrotrirachmadi.wordpress.com/